Jumat, 29 Mei 2009

SALAHKAH CINTA...?

KADANG CINTA TERLALU MEMBABI BUTA

Setelah lama aku menganggur selama 2 tahun, aku mendapat tawaran kerja dari temanku untuk bekerja di sebuah pabrik batubara besar di luar Jawa, tepatnya di Kalimantan Tengah. Industri batubara di tahun 1999 memang sedang jadi primadona penghasil deviden negara apalagi batubara di Indonesia banyak digunakan untuk bahan bakar, industri semen, PLTU dan dalam jumlah kecil dalam peleburan timah dan nikel. Batubara di Kalimantan Tengah sudah mulai ditambang sejak awal abad 19 tambang batubara didekat Muara Teweh sudah ditambang sejak tahun 1910 dan mampu menghasilkan sekitar 7.000 ton pertahun saat itu.

Produksi berkurang sejak Perang Dunia ke II dan kemudian berhenti total sekitar tahun 1960.
Survey penyelidikan batubara di Kalimantan Tengah telah dilakukan sejak tahun 1975 oleh beberapa institusi baik pemerintah maupun perusahaan asing, salah satunya PT. BHP-Biliton yang telah memprediksikan bahwa terdapat sekitar 400 juta ton batubara dengan nilai kalori >7.000 berkualitas baik (> 8.000 kal/gr) juga ditemukan di Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya bagian utara. Di daerah ini batubara banyak ditemukan di Muara Bakah, Bakanon, Sungai Montalat, Sungai Lahei, Sungai Maruwai dan sekitarnya dan aku akan ditempatkan di Muara Bakah.

Dan akhirnya aku diterima bekerja di sana. Aku pun mau tak mau harus mengajak adikku Laila dan adik sepupuku Aris. Aku harus mengajak mereka, karena sejak ditinggal kematian kedua orang tuaku dalam sebuah kecelakaan pesawat komersil di daerah Palembang 2 tahun lalu, tepatnya Desember 1997, Boeing 737 Silk Air jatuh di sana. Menurut kabar kecelakaan itu akibat sang pilot memang sengaja menjatuhkan pesawatnya sendiri dengan niat bunuh diri. Dalam surat ketua NTSB Jim Hall kepada ketua KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) yang saat itu dijabat oleh Prof. Oetarjo Diran, ia mengatakan bahwa temuan yang ada tidak mengindikasikan adanya kesalahan mekanis pada Boeing 737 tersebut dan kecelakaan tersebut nampaknya memang disengaja oleh (kapten) pilotnya. Namun, Diran menolak konklusi tersebut karena dari hasil investigasi KNKT tidak cukup bukti untuk mendukung konklusi tersebut. Terlepas dari masalah apa penyebab kecelakaan pesawat tersebut, kami hanya tahu bahwa kami kehilangan kedua orang tua kami dan otomatis kemudian kami hanya tinggal berdua ditambah adik sepupuku yang juga baru saja ditinggal mati oleh ibunya yang tewas tertabrak mobil tak dikenal di Jakarta.

Adik sepupuku, Aris memang sedikit agak terguncang semenjak kejadian itu, apalagi ayahnya yang kini sudah uzur tidak bisa lagi mengerjakan apa-apa dan lumpuh terkena penyakit stroke. Ayahnya tinggal dengan keluarga pamannya yang hanya seorang tukang loper koran. Otomatis ia tidak bisa tinggal bersama mereka, karena betepa susahnya hidup mereka.

Kehidupan kami berdua pun tak jauh berbeda, tapi aku sangat senang menerima kehadiran adik sepupuku itu, karena walaupun terkadang ia nampak tak stabil dan terguncang berat, ia sangat rajin membantu adik perempuanku dalam urusan rumah. Adik perempuanku pun belumlah menikah di usianya yang telah 28 tahun, padahal tak ada yang salah dari dirinya, hanya saja aku yang terlalu over protektif sehingga jarang sekali ada teman lelakinya yang bisa dan mau datang ke rumah semenjak dia lulus SMA.

Demi menerima tawaran bekerja di Perusahaan di Kalimantan itu, akupun menerima tawaran kerja di sana dan pihak perusahaan pun ternyata mau menerima kami dan memberikan aku sebuah rumah mess yang bisa kami tempati bertiga. Ya aku harus memboyong adikku Laila dan adik sepupuku Aris, karena sudah tidak ada lagi keluarga dekat yang sanggup menanggung kami.

Kami pun berangkat ke Kalimantan dengan kapal laut. Tampak dalam perjalanan adikku Laila begitu akrab dengan adik sepupunya Aris. Tak nampak bila Aris sedang dalam keadaan tidak sehat jiwanya. Bahkan bagiku ia begitu menghormati kakak sepupu perempuannya, dengan menuruti setiap perintah dan permintaan adikku Laila. Berulang kali Aris mencari barang dan makanan yang diminta oleh Laila sepanjang perjalanan dengan gembiranya, seolah ia menemukan kembali ibunya yang telah meninggal. Aris memang hanya remaja kecil berusia 16 tahun, dan ia tidak sempat sekolah SMA karena orang tuanya yang tak mampu membiayai.

Setibanya di Kalimantan Tengah, Pelabuhan Ketapang, kami pun segera mencari kendaraan umum menuju Pontianak, kemudian dilanjutkan ke Muara Teweh. Di masa itu memang susah sekali mencari angkutan umum, apalagi taxi. Pemerintah pada masa itu mungkin lebih memfokuskan pembangunan daerah di pusat, dibandingkan di daerah-daerah. Kami pun langsung menuju Muara Teweh dengan menumpang berbagai jenis kendaraan, dan langsung tiba di Muara Bakah.

Setiba di Muara Bakah akhirnya kami diantar ke Mess 15 km dari sana dekat dengan perumahan penduduk, kebetulanhari itupun belum terlalu sore jadi aku pun sempat mengurus beberapa masalah administrasi kelengkapan lamaran kerja di kantor cabang Kalimantan Tengah, di sebenarnya harus kembali ke Kabupaten Ketapang, tapi rupanya ada kurir yang mau pergi ke sana. Aku hanya diminta beristirahat dan merapihkan tempat dengan adik-adikku.

Beberapa hari bekerja, akhirnya adik sepupuku, Aris diterima bekerja di sana sebagai tenaga serabutan sama seperti office boy di perkantoran. Dan adikku Laila juga akhirnya diterima sebagai tenaga staf administrasi umum di kantor.

Setelah berjalan 7 bulan bekerja, dan akupun sibuk dengan pekerjaanku mengawasi distribusi pengiriman batubara ke luar pulau Kalimantan, sehingga kadang aku tak tersadar bahwa aku dan adik-adikku sudah bisa mengatasi kesulitan hidup mkami. Tapi kebahagiaan kami rupanya berubah karena kebodohan dan kelalaianku mengawasi adik-adikku sendiri.

Aris sering sekali aku dapati suka meracau atau bicara sendiri saat kami pulang kerja di Mess. Awalnya aku pikir ia hanya ingin melampiaskan kelelahan kerjanya selama seharian penuh, kemudian aku juga sering dapati adikku Laila yang kadang tak bisa menyediakan makan malam kami, karena semakin sering pulang terlambat dari tempat kerjanya. Padahal, aku tahu bila ia diantar pulang oleh mobil kantor ke tempat Mess, sedangkan aku biasanya ke Pontianak atau Kabupaten Ketapang untuk urusan kantor. Dan akupun sering menerima laporan tentang adik sepupuku Aris yang sering sekali suka mengacau di kantor, dan terakhir aku dengan ia sempat berkelahi dengan supervisor operasional bagian penambangan, Heri Latuconsina, seorang lelaki keturunan Ambon yang lumayan dikenal agak temperamental. Tapi aku pernah bertemunya beberapa kali, justru ia sangat lembut bagiku setiap kali bertemu denganku.

Satu sore di hari Minggu yang sangat aneh buatku saat itu, kami sedang
mempersiapkan diri untuk pulang, dan aku pun hendak bergegas mandi dulu di kantor, karena hari itu aku baru saja turun ke tempat penambangan untuk melihat keadaan tambang sehubungan dengan permintaan Heri karena adanya penambahan peralatan berat di lokasi tambang. Adikku Laila kebetulan juga berpapasan dengan aku dan tumben-tumbennya ia mau mandi di kantor seblum pulang. Walaupun terasa aneh, tapi aku tidak heran, karena kami memang sudah terbiasa mandi di kantor sebelum pulang kembali ke Mess kami, karena di samping memang air di kantor lebih bersih, di mess sudah beberapa hari airnya yang asin susah sekali keluar. Dan aku pun menyuruh adikku Laila menyuruh mandi terlebih dahulu, kemudian setelah itu hari ini aku akan mengajak Aris pula untuk pulang bersama dengan mobil kantor.

Entah bagaimana mulanya tahu-tahun ada teriakan dari luar dan aku pun bergeas ke luar kantorku untuk melihat. Dari arah gudang dan ruang AHU yang saling berdekatan tepat di belakang ruanhg kamar mandi kantorku, beberapa orang berlari berhamburan keluar dari pintu gudang sambil menunjuk-nunjuk aku dan menunjuk pintu gudang. Akupun semakin penasaran aku segera berlari secepat kilat ke arah pintu.

Secara refleks aku melompat ke samping pintu saat ada percikan api keluar dari pintu AHU. Akupun terjatuh, dan dari dalam pintu keluar Aris yang memegang sebuah gulungan kabel listrik raksasa sebesar pergelangan kaki orang dewasa. Tampak percikan api keluar dari ujung tembaga kabel yang terkelupas. Rupanya Aris seperti norang sedang kehilangan akal menyorong-nyorongkan kabel tersebut kepada siapa saja yang mendekat. Dan ia pun berteriak-teriak menyebut nama Heri dengan marah yang amat sangat, yang akupun sadar itu bukanlah marahnya Aris seperti yang kukenal.

"Heri....!" teriaknya keras ke arah siapa saja menjaga jarak kerumunan orang yang memang tiada berani mendekat termasuki aku, "Cepat keluar kau dari gudang itu... aku tahu kau tadi mengintip kakakku mandi... Cepat keluar bangsat!"

Aku pun terhenyak mendengarnya dan terus berusaha bangun menghindar kemungkinan tersengat kabel listrik yang ada di tangan Aris. Beberapa orang sempat berbisik di belakangku, "Wah si Aris kumat lagi gilanya... Sepertinya dia dendam dengan pak Heri...!"

Aku berusaha secepat mungkin mengambil kesimpulan dari kejadian, apakah ini berkaitan dengan kejadian beberapa hari lalu setelah perkelahian mereka di dekat tambang?

Aku berusaha melihat setiap gerakan Aris, aku akan berusaha merebut kabel itu tanpa harus melukai siapapun. Aku berusaha memberi gerakan untuk menenangkan Aris, rasa takutku hilang seketika terpompa adrenalin yang memuncak ke kepalaku, karena kekuatiranku pada adikku Laila yang masih ada di kamar mandi, yang tepat ada di belakang posisi berdirinya Aris. Apalagi kabel listrik terkelupas itu sepertinya agak panjang. Aku lebih kuatir bila itu terlepas dan menimpa kantor bedengku yang dindingnya dari logam seng, maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan adikku di kamar mandi itu. Pasti terpanggang hangus oleh sengatan listrik ribuan volt dari kabel itu.

Akupun berusaha berteriak memanggil keluar adikku,
"Laila...! Laila... keluar kamu dari kamar mandi... cepaaaat!", namun sepertinya ia tidak mendengar, karena suara bising Genset begitu keras dari ruang AHU dan mungkin suara shower yang ada di kamar mandi. Ya aku tahu dia suka sekali mandi dengan shower. Jadi pasti ia tidak mendengar teriakanku yang keras ini.

Aku nekad, tapi masih memperhitungkan apa yang bakal terjadi. Lebih baik aku yang mati daripada adikku Laila atau sepupuku Aris. Diam-diam sambil membujuk Aris untuk tenang aku meraih sepotong kayu balok berukuran sedang di belakangku.

"Aris.... coba kamu sabar, tatap mata mas Diki... tatap! Ada apa sebenarnya? Ayo ceritakan apa masalahnya dek?" rayuku demi mengalihkan perhatiannya.

"Mas Diki nggak bakalan ngerti... pokonya nggak bakalan ngerti. Selama ini mas nggak merhatiin apa? Mbak Laila kenapa dan bagaimana? Dia sering sekali diganggu sama pak Heri... Mas Diki goblok...! Nggak ngelihat apa?" tampak emosinya yang semakin memuncak.

Aku sudah nggak tahan lagi, begitu kulihat dia menengok ke belakang saat mendengar suara Heri Latuconsina yang keluar memanggil namanya. Aku pun langsung melompat merangsek ke depan dan memukulkan kayu balok yang berhasil kuraih ke tangan Aris dan akhirnya gulungan kabel itu terjatuh beberapa meter dari kamar mandi kantorku. Uuupsss... nyaris saja.

Aris pun terjatuh kesakitan memegangi tangannya yang tampak terluka memar. Heri juga berusaha menubruk Aris, begitu melihat kabel itu terlepas jatuh. Aku pun secara refleks menyelamatkan kabel berbahaya itu lebih dahulu.

Sesat setelah berhasil kupegang, aku kaget melihat betapa si Heri sempat memukul kepala Aris, tapi layaknya seperti jitakan sebenarnya. Namun entah mengapa mungkin karena aku tadi terpancing emosi dari ucapan adik sepupuku, aku jadi timbul marah. Akupun berteriak,

"Hei Her... apa yang kamu lakukan? mengeplak kepala sepupuku?"

Dia terkejut, dan aku juga melihat sebagian besar bajunya basah. Aku heran dari ruang genset AHU kok bajunya basah seperti kena guyuran air. Aku kilat berasumsi, jangan-jangan benar apa yang diucapkan oleh sepupuku, Aris... Ya.... Heri Latuconsina mengintip Laila mandi dan adikku tahu...!

Aku pun meledak emosi, tanpa bertanya lebih jauh dan menunggu jawabannya yang tampak seperti orang bingung, aku melompat maju berusaha menyerang Heri dengan kabel listrik yang masih memercikkan api itu ke wajahnya.

Heri dengan refleks dia melompat ke samping kirinya dan terjatuh dekat sekali dengan ruang kamar mandi kantorku. Tapi aku terlanjur gelap mata. Sekarang giliran aku yang jadi gila, aku sorongkan kabel listrik ribuan volt itu ke arahnya. Heri tanpa bisa menghindar lagi dia terjejak menerima sodokan mautku dengan kabel listrik itu. Bau daging terbakarpun begitu menyengat, dan 3 detik aku merasa ada kepuasan yang terlampiaskan. Heri Latuconsina mati seketika hangus tersengat listrik di perutnya dan ia memegang tembok seng di belakangnya. Aku terkesiap.... Astaghfirullaah

Masya Allah, aku telah berbuat keji. Akupun tersadar dengan apa yang aku lakukan... aku telah membunuh dua orang sekaligus.... teman dekatku Heri dan adikku Laila. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un... sempat aku mengucap sebelum terjatuh pingsan...!

Sayup-sayup dalam pingsanku, aku mendengar ocehan Aris yang keras menangis... dan beberapa orang di belakangnya yang terkejut. Bahkan ada yang berteriak lirih kudengar...

"Diki goblog banget...!" lamat-lamat terdengar dalam pingsanku, "...teganya dia membunuh adiknya sendiri bersama kekasihnya...! Emang nggak tahu apa pak Heri dan Laila saling mencintai?"
"...kakak macam apa, yang nggak tahu adiknya menjalin cinteman dekatnya?"

"Ooooh...!", aku pun semakin dalam terbawa dalam pusaran labirin kelam yang semakin pekat berputar-putar.