Jumat, 29 Mei 2009

SALAHKAH CINTA...?

KADANG CINTA TERLALU MEMBABI BUTA

Setelah lama aku menganggur selama 2 tahun, aku mendapat tawaran kerja dari temanku untuk bekerja di sebuah pabrik batubara besar di luar Jawa, tepatnya di Kalimantan Tengah. Industri batubara di tahun 1999 memang sedang jadi primadona penghasil deviden negara apalagi batubara di Indonesia banyak digunakan untuk bahan bakar, industri semen, PLTU dan dalam jumlah kecil dalam peleburan timah dan nikel. Batubara di Kalimantan Tengah sudah mulai ditambang sejak awal abad 19 tambang batubara didekat Muara Teweh sudah ditambang sejak tahun 1910 dan mampu menghasilkan sekitar 7.000 ton pertahun saat itu.

Produksi berkurang sejak Perang Dunia ke II dan kemudian berhenti total sekitar tahun 1960.
Survey penyelidikan batubara di Kalimantan Tengah telah dilakukan sejak tahun 1975 oleh beberapa institusi baik pemerintah maupun perusahaan asing, salah satunya PT. BHP-Biliton yang telah memprediksikan bahwa terdapat sekitar 400 juta ton batubara dengan nilai kalori >7.000 berkualitas baik (> 8.000 kal/gr) juga ditemukan di Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya bagian utara. Di daerah ini batubara banyak ditemukan di Muara Bakah, Bakanon, Sungai Montalat, Sungai Lahei, Sungai Maruwai dan sekitarnya dan aku akan ditempatkan di Muara Bakah.

Dan akhirnya aku diterima bekerja di sana. Aku pun mau tak mau harus mengajak adikku Laila dan adik sepupuku Aris. Aku harus mengajak mereka, karena sejak ditinggal kematian kedua orang tuaku dalam sebuah kecelakaan pesawat komersil di daerah Palembang 2 tahun lalu, tepatnya Desember 1997, Boeing 737 Silk Air jatuh di sana. Menurut kabar kecelakaan itu akibat sang pilot memang sengaja menjatuhkan pesawatnya sendiri dengan niat bunuh diri. Dalam surat ketua NTSB Jim Hall kepada ketua KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) yang saat itu dijabat oleh Prof. Oetarjo Diran, ia mengatakan bahwa temuan yang ada tidak mengindikasikan adanya kesalahan mekanis pada Boeing 737 tersebut dan kecelakaan tersebut nampaknya memang disengaja oleh (kapten) pilotnya. Namun, Diran menolak konklusi tersebut karena dari hasil investigasi KNKT tidak cukup bukti untuk mendukung konklusi tersebut. Terlepas dari masalah apa penyebab kecelakaan pesawat tersebut, kami hanya tahu bahwa kami kehilangan kedua orang tua kami dan otomatis kemudian kami hanya tinggal berdua ditambah adik sepupuku yang juga baru saja ditinggal mati oleh ibunya yang tewas tertabrak mobil tak dikenal di Jakarta.

Adik sepupuku, Aris memang sedikit agak terguncang semenjak kejadian itu, apalagi ayahnya yang kini sudah uzur tidak bisa lagi mengerjakan apa-apa dan lumpuh terkena penyakit stroke. Ayahnya tinggal dengan keluarga pamannya yang hanya seorang tukang loper koran. Otomatis ia tidak bisa tinggal bersama mereka, karena betepa susahnya hidup mereka.

Kehidupan kami berdua pun tak jauh berbeda, tapi aku sangat senang menerima kehadiran adik sepupuku itu, karena walaupun terkadang ia nampak tak stabil dan terguncang berat, ia sangat rajin membantu adik perempuanku dalam urusan rumah. Adik perempuanku pun belumlah menikah di usianya yang telah 28 tahun, padahal tak ada yang salah dari dirinya, hanya saja aku yang terlalu over protektif sehingga jarang sekali ada teman lelakinya yang bisa dan mau datang ke rumah semenjak dia lulus SMA.

Demi menerima tawaran bekerja di Perusahaan di Kalimantan itu, akupun menerima tawaran kerja di sana dan pihak perusahaan pun ternyata mau menerima kami dan memberikan aku sebuah rumah mess yang bisa kami tempati bertiga. Ya aku harus memboyong adikku Laila dan adik sepupuku Aris, karena sudah tidak ada lagi keluarga dekat yang sanggup menanggung kami.

Kami pun berangkat ke Kalimantan dengan kapal laut. Tampak dalam perjalanan adikku Laila begitu akrab dengan adik sepupunya Aris. Tak nampak bila Aris sedang dalam keadaan tidak sehat jiwanya. Bahkan bagiku ia begitu menghormati kakak sepupu perempuannya, dengan menuruti setiap perintah dan permintaan adikku Laila. Berulang kali Aris mencari barang dan makanan yang diminta oleh Laila sepanjang perjalanan dengan gembiranya, seolah ia menemukan kembali ibunya yang telah meninggal. Aris memang hanya remaja kecil berusia 16 tahun, dan ia tidak sempat sekolah SMA karena orang tuanya yang tak mampu membiayai.

Setibanya di Kalimantan Tengah, Pelabuhan Ketapang, kami pun segera mencari kendaraan umum menuju Pontianak, kemudian dilanjutkan ke Muara Teweh. Di masa itu memang susah sekali mencari angkutan umum, apalagi taxi. Pemerintah pada masa itu mungkin lebih memfokuskan pembangunan daerah di pusat, dibandingkan di daerah-daerah. Kami pun langsung menuju Muara Teweh dengan menumpang berbagai jenis kendaraan, dan langsung tiba di Muara Bakah.

Setiba di Muara Bakah akhirnya kami diantar ke Mess 15 km dari sana dekat dengan perumahan penduduk, kebetulanhari itupun belum terlalu sore jadi aku pun sempat mengurus beberapa masalah administrasi kelengkapan lamaran kerja di kantor cabang Kalimantan Tengah, di sebenarnya harus kembali ke Kabupaten Ketapang, tapi rupanya ada kurir yang mau pergi ke sana. Aku hanya diminta beristirahat dan merapihkan tempat dengan adik-adikku.

Beberapa hari bekerja, akhirnya adik sepupuku, Aris diterima bekerja di sana sebagai tenaga serabutan sama seperti office boy di perkantoran. Dan adikku Laila juga akhirnya diterima sebagai tenaga staf administrasi umum di kantor.

Setelah berjalan 7 bulan bekerja, dan akupun sibuk dengan pekerjaanku mengawasi distribusi pengiriman batubara ke luar pulau Kalimantan, sehingga kadang aku tak tersadar bahwa aku dan adik-adikku sudah bisa mengatasi kesulitan hidup mkami. Tapi kebahagiaan kami rupanya berubah karena kebodohan dan kelalaianku mengawasi adik-adikku sendiri.

Aris sering sekali aku dapati suka meracau atau bicara sendiri saat kami pulang kerja di Mess. Awalnya aku pikir ia hanya ingin melampiaskan kelelahan kerjanya selama seharian penuh, kemudian aku juga sering dapati adikku Laila yang kadang tak bisa menyediakan makan malam kami, karena semakin sering pulang terlambat dari tempat kerjanya. Padahal, aku tahu bila ia diantar pulang oleh mobil kantor ke tempat Mess, sedangkan aku biasanya ke Pontianak atau Kabupaten Ketapang untuk urusan kantor. Dan akupun sering menerima laporan tentang adik sepupuku Aris yang sering sekali suka mengacau di kantor, dan terakhir aku dengan ia sempat berkelahi dengan supervisor operasional bagian penambangan, Heri Latuconsina, seorang lelaki keturunan Ambon yang lumayan dikenal agak temperamental. Tapi aku pernah bertemunya beberapa kali, justru ia sangat lembut bagiku setiap kali bertemu denganku.

Satu sore di hari Minggu yang sangat aneh buatku saat itu, kami sedang
mempersiapkan diri untuk pulang, dan aku pun hendak bergegas mandi dulu di kantor, karena hari itu aku baru saja turun ke tempat penambangan untuk melihat keadaan tambang sehubungan dengan permintaan Heri karena adanya penambahan peralatan berat di lokasi tambang. Adikku Laila kebetulan juga berpapasan dengan aku dan tumben-tumbennya ia mau mandi di kantor seblum pulang. Walaupun terasa aneh, tapi aku tidak heran, karena kami memang sudah terbiasa mandi di kantor sebelum pulang kembali ke Mess kami, karena di samping memang air di kantor lebih bersih, di mess sudah beberapa hari airnya yang asin susah sekali keluar. Dan aku pun menyuruh adikku Laila menyuruh mandi terlebih dahulu, kemudian setelah itu hari ini aku akan mengajak Aris pula untuk pulang bersama dengan mobil kantor.

Entah bagaimana mulanya tahu-tahun ada teriakan dari luar dan aku pun bergeas ke luar kantorku untuk melihat. Dari arah gudang dan ruang AHU yang saling berdekatan tepat di belakang ruanhg kamar mandi kantorku, beberapa orang berlari berhamburan keluar dari pintu gudang sambil menunjuk-nunjuk aku dan menunjuk pintu gudang. Akupun semakin penasaran aku segera berlari secepat kilat ke arah pintu.

Secara refleks aku melompat ke samping pintu saat ada percikan api keluar dari pintu AHU. Akupun terjatuh, dan dari dalam pintu keluar Aris yang memegang sebuah gulungan kabel listrik raksasa sebesar pergelangan kaki orang dewasa. Tampak percikan api keluar dari ujung tembaga kabel yang terkelupas. Rupanya Aris seperti norang sedang kehilangan akal menyorong-nyorongkan kabel tersebut kepada siapa saja yang mendekat. Dan ia pun berteriak-teriak menyebut nama Heri dengan marah yang amat sangat, yang akupun sadar itu bukanlah marahnya Aris seperti yang kukenal.

"Heri....!" teriaknya keras ke arah siapa saja menjaga jarak kerumunan orang yang memang tiada berani mendekat termasuki aku, "Cepat keluar kau dari gudang itu... aku tahu kau tadi mengintip kakakku mandi... Cepat keluar bangsat!"

Aku pun terhenyak mendengarnya dan terus berusaha bangun menghindar kemungkinan tersengat kabel listrik yang ada di tangan Aris. Beberapa orang sempat berbisik di belakangku, "Wah si Aris kumat lagi gilanya... Sepertinya dia dendam dengan pak Heri...!"

Aku berusaha secepat mungkin mengambil kesimpulan dari kejadian, apakah ini berkaitan dengan kejadian beberapa hari lalu setelah perkelahian mereka di dekat tambang?

Aku berusaha melihat setiap gerakan Aris, aku akan berusaha merebut kabel itu tanpa harus melukai siapapun. Aku berusaha memberi gerakan untuk menenangkan Aris, rasa takutku hilang seketika terpompa adrenalin yang memuncak ke kepalaku, karena kekuatiranku pada adikku Laila yang masih ada di kamar mandi, yang tepat ada di belakang posisi berdirinya Aris. Apalagi kabel listrik terkelupas itu sepertinya agak panjang. Aku lebih kuatir bila itu terlepas dan menimpa kantor bedengku yang dindingnya dari logam seng, maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan adikku di kamar mandi itu. Pasti terpanggang hangus oleh sengatan listrik ribuan volt dari kabel itu.

Akupun berusaha berteriak memanggil keluar adikku,
"Laila...! Laila... keluar kamu dari kamar mandi... cepaaaat!", namun sepertinya ia tidak mendengar, karena suara bising Genset begitu keras dari ruang AHU dan mungkin suara shower yang ada di kamar mandi. Ya aku tahu dia suka sekali mandi dengan shower. Jadi pasti ia tidak mendengar teriakanku yang keras ini.

Aku nekad, tapi masih memperhitungkan apa yang bakal terjadi. Lebih baik aku yang mati daripada adikku Laila atau sepupuku Aris. Diam-diam sambil membujuk Aris untuk tenang aku meraih sepotong kayu balok berukuran sedang di belakangku.

"Aris.... coba kamu sabar, tatap mata mas Diki... tatap! Ada apa sebenarnya? Ayo ceritakan apa masalahnya dek?" rayuku demi mengalihkan perhatiannya.

"Mas Diki nggak bakalan ngerti... pokonya nggak bakalan ngerti. Selama ini mas nggak merhatiin apa? Mbak Laila kenapa dan bagaimana? Dia sering sekali diganggu sama pak Heri... Mas Diki goblok...! Nggak ngelihat apa?" tampak emosinya yang semakin memuncak.

Aku sudah nggak tahan lagi, begitu kulihat dia menengok ke belakang saat mendengar suara Heri Latuconsina yang keluar memanggil namanya. Aku pun langsung melompat merangsek ke depan dan memukulkan kayu balok yang berhasil kuraih ke tangan Aris dan akhirnya gulungan kabel itu terjatuh beberapa meter dari kamar mandi kantorku. Uuupsss... nyaris saja.

Aris pun terjatuh kesakitan memegangi tangannya yang tampak terluka memar. Heri juga berusaha menubruk Aris, begitu melihat kabel itu terlepas jatuh. Aku pun secara refleks menyelamatkan kabel berbahaya itu lebih dahulu.

Sesat setelah berhasil kupegang, aku kaget melihat betapa si Heri sempat memukul kepala Aris, tapi layaknya seperti jitakan sebenarnya. Namun entah mengapa mungkin karena aku tadi terpancing emosi dari ucapan adik sepupuku, aku jadi timbul marah. Akupun berteriak,

"Hei Her... apa yang kamu lakukan? mengeplak kepala sepupuku?"

Dia terkejut, dan aku juga melihat sebagian besar bajunya basah. Aku heran dari ruang genset AHU kok bajunya basah seperti kena guyuran air. Aku kilat berasumsi, jangan-jangan benar apa yang diucapkan oleh sepupuku, Aris... Ya.... Heri Latuconsina mengintip Laila mandi dan adikku tahu...!

Aku pun meledak emosi, tanpa bertanya lebih jauh dan menunggu jawabannya yang tampak seperti orang bingung, aku melompat maju berusaha menyerang Heri dengan kabel listrik yang masih memercikkan api itu ke wajahnya.

Heri dengan refleks dia melompat ke samping kirinya dan terjatuh dekat sekali dengan ruang kamar mandi kantorku. Tapi aku terlanjur gelap mata. Sekarang giliran aku yang jadi gila, aku sorongkan kabel listrik ribuan volt itu ke arahnya. Heri tanpa bisa menghindar lagi dia terjejak menerima sodokan mautku dengan kabel listrik itu. Bau daging terbakarpun begitu menyengat, dan 3 detik aku merasa ada kepuasan yang terlampiaskan. Heri Latuconsina mati seketika hangus tersengat listrik di perutnya dan ia memegang tembok seng di belakangnya. Aku terkesiap.... Astaghfirullaah

Masya Allah, aku telah berbuat keji. Akupun tersadar dengan apa yang aku lakukan... aku telah membunuh dua orang sekaligus.... teman dekatku Heri dan adikku Laila. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un... sempat aku mengucap sebelum terjatuh pingsan...!

Sayup-sayup dalam pingsanku, aku mendengar ocehan Aris yang keras menangis... dan beberapa orang di belakangnya yang terkejut. Bahkan ada yang berteriak lirih kudengar...

"Diki goblog banget...!" lamat-lamat terdengar dalam pingsanku, "...teganya dia membunuh adiknya sendiri bersama kekasihnya...! Emang nggak tahu apa pak Heri dan Laila saling mencintai?"
"...kakak macam apa, yang nggak tahu adiknya menjalin cinteman dekatnya?"

"Ooooh...!", aku pun semakin dalam terbawa dalam pusaran labirin kelam yang semakin pekat berputar-putar.

Rabu, 01 April 2009

Jatuhnya Sang Marketing Director


Sudah berapa kali Handi mendapat peringatan dari orang tuanya, agar jangan terlalu mengambil resiko dalam bertransaksi dengan para pelanggannya. Sering sekali hingga hampir menangis sang Ibu yang sangat lembut itu mengingatkan anak kesayangannya, Handi agar menjauhi perbuatan tercela selama bermuamalah dengan orang banyak.

Kamu jaga hablum minallahnya seitap saat, dan jaga juga hablum minannaas. Demikian si Ibu tua yang sudah beruban namun tetap tegar dan perkasa dalam kesehariannya menjalankan tugas sebagai seorang ibu. Kalau dulu semasa mudanya ia telah berkeja keras buat anakanaknya, maka kini dia tidak berhenti bekerja tanpa seorang pembantupun demi cucu-nya yang terkadang datang ke rumahnya yang mungil di bilangan Kota Bekasi.

Handi membuka usaha bisnis percetakan. Dan saat pemilu inilah dia kebanjiran order pembuatan atribut kampanye politik. Tak tanggung-tanggung kadang ia mendapat order. Namun karena terlalu banyaknya job order yang dia tangani, ia jadi stress dikejar oleh bebean kerjanya sendiri. Handi "mabok" angka dan kini ia terhuyung beban tagihan kerja. Belum lagi banyak kesalahan perhitungan dan kalkulasi produksi. Makin terpuruklah Handi ke dalam kesulitan.

Syukurnya ia selalu bernampilan tenang dalam menghadapi segala situasi sesulit apapun. Namun nahas baginya saat ia berurusan dengan caleg yang masih duduk di kursi dewan. Dan jauh-jauh hari Handi tahu kalau sang caleg adalah orang yang sangat berpengaruh baik di partai maupun di lingkungannya. Tapi Handi justru mengenyampingkan itu semua. Inilah keteledoran dan kebodohannya. Nyaris saja ia membayar mahal kesalahannya itu.

Saat ada satu pekerjaan, yakni job order pembuatan kalender kampanye yang dia tunda-tunda pembuatannya, Handi membuat marah sang pemberi order. Sebenarnya sang caleg pemberi order sudah cukup bersabar memberi peluang buat dirinya. Namun karena kebodohan dan terlalu sibuknya dia membuat jadwal pekerjaan, akhirnya pekerjaan itu terlupakaan. Dan inilah yang menjadi kealahan fatal Handi. Namun begitu dia merasa sedikit salah sekalipun dia berkeinginan membela diri.

"Halah, tetap saja kamu tidak amanah mas Handi!" bentak adiknya saat mereka mendiskusikan masalah itu. Karena Handi telah memakai uang dari job sang caleg DPR RI untuk pekerjaan cetakan lain. Hanmdi pun nanar matanya memandang ke langit-langit.

"Habis saya harus bagaimana lagi, dek?"

"Yah tunggu aja mata pencarian Mas!"

Dan Handi pun bergidik ketakutan membayangkan apa yang akan terjadi kepada dirinya, bila tidak segera mengganti uang cetakan tersebut. Bisa saja kalau orang itu marah, maka nyawa taruhannya... Huaduh?

(tulisan ini bersambung)

Senin, 02 Februari 2009

Sudahlah Bunda... Bersabarlah Tunggu Sang Waktu

Malam semakin merayap menggerayangi jalan-lan kecil di depan rumahku. Suara gonggongan anjing menemani sang petugas ronda di komplek rumah yang memukul-mukul tiang listrik membunuh kelamnya sunyi malam. Laptopku masih berkeletakkeletik dihantam jari-jariku yang tak mau lelah menuangkan kata-kata yang muncrat dari kepalaku. Ibuku sedang sholat tahajjud sedemikian khusyuknya sehingga tampak sajadahnya kuyup dibasahi air matanya yang menetes saat sujud. Entah apa yang ditangisi ibundaku.

Sepertinya keputusanku untuk tidak mau pulang ke rumahku menemui istriku demi menuntaskan hasrat karyaku hingga aku berharap tak ada lagi beban menggunung di pundakku, telah membuat ibundaku kuatir aku akan kehilangan hubungan mesra dengan anak lakiku dan istriku. Namun aku selalu mencoba menjelaskan setiap malam bahwa aku sedang menunggu jawaban dari sang tokoh yang aku tulis profilnya dalam mediaku.

Ya mediaku memang cuma berisi tentang tulisan para tokoh masyarakat yang aku promosikan dan tulis dalam bentuk semi mini biografi. Aku sadar betul bahwa yang aku lakukan sebetulnya bisa dikerjakan di rumah bersama istri dan anakku. Tapi tetap saja aku merasa nyaman bila aku mengerjakannya di rumah ibundaku dan tanpa gangguan malam hari dari sibuknya malam di rumahku sendiri. Aahhh, aku mencoba mendustai diriku sendiri, bahwa aku lebih nyaman di rumah ibundaku. Tidak seperti itu, bersama istri dan anakku saat jari jemariku sibuk menghantam tuts-tuts kibord berulang-ulang, biasanya mataku menari-menari mencari wajah anak dan istriku yang sedang terlelap di samping ku di tempat tidur. Ya meja kerjaku berhimpitan dengan tempat tidurku. Itupun setelah anak sang jagoan kecil digelayut rindu mau tidur di tempat tidurku. Biasanya bila tak ada masalah dengan kesibukannya dan pekerjaan sekolahnya, dia lebih cepat terlelap di kamar tidurnya sendiri yang lebih dingin bukan karena AC tapi karena ia senang sekali dipasangi kipas angin berkecapatan tinggi. Sementara di kamarku hanya dikipasi fan dengan kecepatan terendah, karena aku tak suka angin yang terlalu kencang.

Kembali aku tersadar melihat sujud ibundaku dalam tahajjudnya yang agak lama. Ia memang sedang menangis dalam sujudnya. Terdengar lirih ia sedang membaca tasbih dalam sujudnya. Seolah ia berbicara denganku tanpa berhenti dari sholatnya, "Apa sih yang kamu cari anakku? Bukannya kebersamaanmu dengan istri dan anak, lebih menenteramkanmu dan malah menambah konsentrasi kerja kamu sayang?"

Begitu lembut sekali biasanya ibundaku menyindir dan memintaku dalam banyak hal, walau terkadang sempat meledak pula marahnya dengan kata-kata yang cukup pedas. Namun karena kekerasan hatiku dalam mengerjakan sesuatu, biasanya dengan lemah lembut, ibundaku membujukku. Padahal aku tak pernah terbersit sedetikpun untuk melepas kerinduan anak dan istriku, namun tugasku untuk menulis dan menunggu kabar jauh lebih mudah dan cepat bila aku lakukan di rumah ibuku.

Tiba-tiba handphoneku berdering cukup keras merobek kesunyian malam di rumahku, dan tak sengaja kulihat ibundaku seperti berhenti dari tangis dalam sujudnya. Aku angkat handphoneku, dan tanpa terasa aku berucap lirih, "Dek Ina?". Begitu lirih namun cukup keras untuk membangunkan anakku nomor dua dari tidurnya yang ada di sampingku tergeletak tidur di springbed. Dan ia pun bertanya, "dari Ummi ya Bi?"

Aku pun hanya mengangguk, dan menjawab telepon. "Assalamu'alaikum, ya Umm? Ada apa sayang tumben jam 2 malam kamu telepon? Biasanya Abi yang telepon kamu nggak pernah angkat?" Aku mencecarnya dengan berondongan peluru kata, tanpa memberinya kesempatan menjawab setiap pertanyaanku. Di sana sepertinya istriku terdiam, aku mencoba menangkap makna dari desahan nafasnya yang menjawab suaraku.

"Sudah selesai Abi pekerjaannya? Gimana kabar di kecil Laila?"
"Belum istriku sayang, dan si kecil di sini tadi sebenarnya masih tertidur, tapi terbangun begitu mendengar ada telepon dari kamu Ummi!"
"Kalau dia mau bicara, kasih handphonenya ke dia... aku kangen Bi?"
Dan kusorongkan HP ke Laila, disambarnya HPku tanpa menunggu lebih lama lagi.
"Halo Mi, besok Minggu, setelah Abi selesai kerjaannya, aku mau ke sana sama Abi. Nanti kita jalan-jalan sama Abi ya Mi.... Ajak Bang Reza sekalian!!!" tanpa sadar aku terharu melihat si kecil Laila begitu rindunya pada umminya. Aku mencoba menganggukkan kepala saat Laila meminta izinku agar besok bisa pulang ke rumah menemui umminya.
"Kirtain kamu ikutan Abi mabit.... hehehe nemenin Abi kerja ya?"
"Enggak kok Mi, kebetulan tadi habis sholat Isya, ngelihat Abi masih ketak-ketik di depan laptop. Jadi aku langsung tidur di dekat Abi. Eyang juga belum tidur Mi."

Aahhh... seperti ada yang hilang dengan terpisahnya jarak antara aku dan anak perempuanku dengan istri dan anak laki-lakiku nun jauh di lain kota. Pekerjaanku yang menuntut aku harus instan berada di dekat tokoh yang sedang aku wawancarai membuat aku harus mau tak mau terpisah dengan istriku. Namun yang paling menyedihkan apabila pihak keluarga istriku yang tidak mengerti dengan cara dan jenis pekerjaanku ini. Terutama mertua perempuanku yang sering sekali mengeluhkan tentang kehadiranku di rumah. Dia selalu mengkritik kehadiranku harus ada sehingga anak lelakiku dapat perhatian khusus. Sepertinya ia hanya takut kepadaku, demikian ibu mertuaku sering bilang, dan dia tidak takut kepada siapapun. Kuatirnya lagi, ia lebih senang berkutat dengan komputer. Hal yang tak beda jauh denganku. Buah memang tak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Dalam hal ini ia lebih sering bermain game online dan internet, sehingga kadang waktu belajarnya kalah banyak dengan waktunya untuk bermain internet.

Aku pun selalu bilang kepada ibu mertuaku. Ini kan memang zamannya anakku, mana bisa aku memaksa dia untuk menjauhkan diri dari komputer. Sementara komputer adalah kehidupannya setiap hari seperti halnya aku juga tak pernah jauh dari kehidupan komputer dan internet. Apakah aku salah bila membiarkan dia senang dengan dunianya, toh akupun tak pernah berhenti menyuruh nya untuk menjaga sholat dan komunikasi yang seimbang dengan kehidupan sosialnya seperti menghormati umminya dan sayang kepada adiknya. Masalah dia harus takut kepada orang lain yang lebih tua, aku memang tak pernah mengajarkannya untuk takut kepada orang atau hal asing lain. Hanya cara pandangku saja yang beda menafsirkan rasa takut kepada orang lain.

Aku selalu ingat saat ibu Mertuaku mengomeli aku, karena si Reza jarang sekali disiplin mencuci pakaiannya sendiri dan pulang tepat waktu, karena terlalu sering main internet.
"Heh, Abi. Tolong kamu kerasi anakmu, dia mulai terlalu sering bermain internet dan game online. Bahkan terkadang dia tak mau mendengar bila disuruh untuk mempersiapkan pelajaran atau mengerjakan pe-ernya buat besok! Bagaimana kamu mendidik anak kamu? Nanti dia lupa dengan tugas utamanya yakni belajar. Tolong kamu kerasi dan disiplinkan dia, Abi!"

Demikian ia selalu menegurku berulang-ulang, sepertinya memang itu saja yang menjadi hapalan dialog antagonisnya buat diriku. Aku pun sering menanggapinya dengan tersenyum, dan di dalam hatiku akupun hanya berujar mungkin Ibu Mertuaku terlalu sering nonton sinetron "katrok" teve dimana sang tokoh jahat (dalam hal ini biasanya sering ditiru ibu mertuaku) sangat berlebihan mengomeli anak ataupun menantu bahkan cucunya sendiri. Dan hidup ternyata tak seperti sinetron, dimana yang diomeli dan dicaci akan diam saja tak membalas. Anakku terkadang membalas kekasaran neneknya dengan kekasaran pula. Dan itupun sering aku katakan kepada Ibu Mertuaku, bahwa jangan memberi contoh kepada cucunya dengan kata-kata kasar saat memarahi, karena dia pasti akan meniru dengan membalas semua perbuatan kita yang kasar. Apalagi dia semakin hari semakin sadar, bahwa tubuhnya semakin besar dan perkasa.

Akupun tak pernah mengatakan kemudian menjejali bahwa rasa takut itu semata untuk Allah dan kepada Allah, karena anakku Reza juga sering mendengar itu dari guru ngaji dan ceramah yang dia dengar di setiap sholat Jum'at, otomatis tahu dengan sendirinya, terutama saat aku menekankan ia untuk tidak melupakan waktu sholatnya saat seperti apapun. Saat ia bermain internet atau game online, dan ia harus tahu kapan waktunya berhenti untuk sholat, selebihnya bagaimana Reza bisa mengendalikan dirinya. Ya aku harus membiasakan dan mendisiplinkan dirinya, namun aku biarkan ia untuk belajar menghargai tubuh dan pikirannya sendiri dengan mencoba mendisiplinkan dirinya sendiri tanpa paksaan dan kekerasan.

Ibundaku dan Mertuaku memang tak mau tahu, tapi mungkin kulihat perbedaan yang mencolok cara mereka menanggapi gayaku berumah tangga dan mencari nafkah. Bila ibundaku menangis kepada Allah dengan tujuan tak langsung menyindir aku, dan ibu mertuaku menyindir langsung walau kadang terkesan sangat nyinyir dan menyebalkan. Tapi keduanya bertujuan sama. Mereka belum bisa bersama-sama menunggu waktunya aku dan anakku serta keluargaku menghadapi kehidupan ini dengan cara-gayaku sendiri. Sudahlah Bunda, bersabarlah menunggu waktu sehingga apa yang bunda inginkan pasti terwujud selambat apapun Insya Allah terwujud wahai Bundaku tercinta dan wahai Ibu Mertuaku yang kusayangi.

(Ditujukan buat sahabatku di
http://fivyokvita.wordpress.com) Trims ya fotonya!!