Senin, 02 Februari 2009

Sudahlah Bunda... Bersabarlah Tunggu Sang Waktu

Malam semakin merayap menggerayangi jalan-lan kecil di depan rumahku. Suara gonggongan anjing menemani sang petugas ronda di komplek rumah yang memukul-mukul tiang listrik membunuh kelamnya sunyi malam. Laptopku masih berkeletakkeletik dihantam jari-jariku yang tak mau lelah menuangkan kata-kata yang muncrat dari kepalaku. Ibuku sedang sholat tahajjud sedemikian khusyuknya sehingga tampak sajadahnya kuyup dibasahi air matanya yang menetes saat sujud. Entah apa yang ditangisi ibundaku.

Sepertinya keputusanku untuk tidak mau pulang ke rumahku menemui istriku demi menuntaskan hasrat karyaku hingga aku berharap tak ada lagi beban menggunung di pundakku, telah membuat ibundaku kuatir aku akan kehilangan hubungan mesra dengan anak lakiku dan istriku. Namun aku selalu mencoba menjelaskan setiap malam bahwa aku sedang menunggu jawaban dari sang tokoh yang aku tulis profilnya dalam mediaku.

Ya mediaku memang cuma berisi tentang tulisan para tokoh masyarakat yang aku promosikan dan tulis dalam bentuk semi mini biografi. Aku sadar betul bahwa yang aku lakukan sebetulnya bisa dikerjakan di rumah bersama istri dan anakku. Tapi tetap saja aku merasa nyaman bila aku mengerjakannya di rumah ibundaku dan tanpa gangguan malam hari dari sibuknya malam di rumahku sendiri. Aahhh, aku mencoba mendustai diriku sendiri, bahwa aku lebih nyaman di rumah ibundaku. Tidak seperti itu, bersama istri dan anakku saat jari jemariku sibuk menghantam tuts-tuts kibord berulang-ulang, biasanya mataku menari-menari mencari wajah anak dan istriku yang sedang terlelap di samping ku di tempat tidur. Ya meja kerjaku berhimpitan dengan tempat tidurku. Itupun setelah anak sang jagoan kecil digelayut rindu mau tidur di tempat tidurku. Biasanya bila tak ada masalah dengan kesibukannya dan pekerjaan sekolahnya, dia lebih cepat terlelap di kamar tidurnya sendiri yang lebih dingin bukan karena AC tapi karena ia senang sekali dipasangi kipas angin berkecapatan tinggi. Sementara di kamarku hanya dikipasi fan dengan kecepatan terendah, karena aku tak suka angin yang terlalu kencang.

Kembali aku tersadar melihat sujud ibundaku dalam tahajjudnya yang agak lama. Ia memang sedang menangis dalam sujudnya. Terdengar lirih ia sedang membaca tasbih dalam sujudnya. Seolah ia berbicara denganku tanpa berhenti dari sholatnya, "Apa sih yang kamu cari anakku? Bukannya kebersamaanmu dengan istri dan anak, lebih menenteramkanmu dan malah menambah konsentrasi kerja kamu sayang?"

Begitu lembut sekali biasanya ibundaku menyindir dan memintaku dalam banyak hal, walau terkadang sempat meledak pula marahnya dengan kata-kata yang cukup pedas. Namun karena kekerasan hatiku dalam mengerjakan sesuatu, biasanya dengan lemah lembut, ibundaku membujukku. Padahal aku tak pernah terbersit sedetikpun untuk melepas kerinduan anak dan istriku, namun tugasku untuk menulis dan menunggu kabar jauh lebih mudah dan cepat bila aku lakukan di rumah ibuku.

Tiba-tiba handphoneku berdering cukup keras merobek kesunyian malam di rumahku, dan tak sengaja kulihat ibundaku seperti berhenti dari tangis dalam sujudnya. Aku angkat handphoneku, dan tanpa terasa aku berucap lirih, "Dek Ina?". Begitu lirih namun cukup keras untuk membangunkan anakku nomor dua dari tidurnya yang ada di sampingku tergeletak tidur di springbed. Dan ia pun bertanya, "dari Ummi ya Bi?"

Aku pun hanya mengangguk, dan menjawab telepon. "Assalamu'alaikum, ya Umm? Ada apa sayang tumben jam 2 malam kamu telepon? Biasanya Abi yang telepon kamu nggak pernah angkat?" Aku mencecarnya dengan berondongan peluru kata, tanpa memberinya kesempatan menjawab setiap pertanyaanku. Di sana sepertinya istriku terdiam, aku mencoba menangkap makna dari desahan nafasnya yang menjawab suaraku.

"Sudah selesai Abi pekerjaannya? Gimana kabar di kecil Laila?"
"Belum istriku sayang, dan si kecil di sini tadi sebenarnya masih tertidur, tapi terbangun begitu mendengar ada telepon dari kamu Ummi!"
"Kalau dia mau bicara, kasih handphonenya ke dia... aku kangen Bi?"
Dan kusorongkan HP ke Laila, disambarnya HPku tanpa menunggu lebih lama lagi.
"Halo Mi, besok Minggu, setelah Abi selesai kerjaannya, aku mau ke sana sama Abi. Nanti kita jalan-jalan sama Abi ya Mi.... Ajak Bang Reza sekalian!!!" tanpa sadar aku terharu melihat si kecil Laila begitu rindunya pada umminya. Aku mencoba menganggukkan kepala saat Laila meminta izinku agar besok bisa pulang ke rumah menemui umminya.
"Kirtain kamu ikutan Abi mabit.... hehehe nemenin Abi kerja ya?"
"Enggak kok Mi, kebetulan tadi habis sholat Isya, ngelihat Abi masih ketak-ketik di depan laptop. Jadi aku langsung tidur di dekat Abi. Eyang juga belum tidur Mi."

Aahhh... seperti ada yang hilang dengan terpisahnya jarak antara aku dan anak perempuanku dengan istri dan anak laki-lakiku nun jauh di lain kota. Pekerjaanku yang menuntut aku harus instan berada di dekat tokoh yang sedang aku wawancarai membuat aku harus mau tak mau terpisah dengan istriku. Namun yang paling menyedihkan apabila pihak keluarga istriku yang tidak mengerti dengan cara dan jenis pekerjaanku ini. Terutama mertua perempuanku yang sering sekali mengeluhkan tentang kehadiranku di rumah. Dia selalu mengkritik kehadiranku harus ada sehingga anak lelakiku dapat perhatian khusus. Sepertinya ia hanya takut kepadaku, demikian ibu mertuaku sering bilang, dan dia tidak takut kepada siapapun. Kuatirnya lagi, ia lebih senang berkutat dengan komputer. Hal yang tak beda jauh denganku. Buah memang tak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Dalam hal ini ia lebih sering bermain game online dan internet, sehingga kadang waktu belajarnya kalah banyak dengan waktunya untuk bermain internet.

Aku pun selalu bilang kepada ibu mertuaku. Ini kan memang zamannya anakku, mana bisa aku memaksa dia untuk menjauhkan diri dari komputer. Sementara komputer adalah kehidupannya setiap hari seperti halnya aku juga tak pernah jauh dari kehidupan komputer dan internet. Apakah aku salah bila membiarkan dia senang dengan dunianya, toh akupun tak pernah berhenti menyuruh nya untuk menjaga sholat dan komunikasi yang seimbang dengan kehidupan sosialnya seperti menghormati umminya dan sayang kepada adiknya. Masalah dia harus takut kepada orang lain yang lebih tua, aku memang tak pernah mengajarkannya untuk takut kepada orang atau hal asing lain. Hanya cara pandangku saja yang beda menafsirkan rasa takut kepada orang lain.

Aku selalu ingat saat ibu Mertuaku mengomeli aku, karena si Reza jarang sekali disiplin mencuci pakaiannya sendiri dan pulang tepat waktu, karena terlalu sering main internet.
"Heh, Abi. Tolong kamu kerasi anakmu, dia mulai terlalu sering bermain internet dan game online. Bahkan terkadang dia tak mau mendengar bila disuruh untuk mempersiapkan pelajaran atau mengerjakan pe-ernya buat besok! Bagaimana kamu mendidik anak kamu? Nanti dia lupa dengan tugas utamanya yakni belajar. Tolong kamu kerasi dan disiplinkan dia, Abi!"

Demikian ia selalu menegurku berulang-ulang, sepertinya memang itu saja yang menjadi hapalan dialog antagonisnya buat diriku. Aku pun sering menanggapinya dengan tersenyum, dan di dalam hatiku akupun hanya berujar mungkin Ibu Mertuaku terlalu sering nonton sinetron "katrok" teve dimana sang tokoh jahat (dalam hal ini biasanya sering ditiru ibu mertuaku) sangat berlebihan mengomeli anak ataupun menantu bahkan cucunya sendiri. Dan hidup ternyata tak seperti sinetron, dimana yang diomeli dan dicaci akan diam saja tak membalas. Anakku terkadang membalas kekasaran neneknya dengan kekasaran pula. Dan itupun sering aku katakan kepada Ibu Mertuaku, bahwa jangan memberi contoh kepada cucunya dengan kata-kata kasar saat memarahi, karena dia pasti akan meniru dengan membalas semua perbuatan kita yang kasar. Apalagi dia semakin hari semakin sadar, bahwa tubuhnya semakin besar dan perkasa.

Akupun tak pernah mengatakan kemudian menjejali bahwa rasa takut itu semata untuk Allah dan kepada Allah, karena anakku Reza juga sering mendengar itu dari guru ngaji dan ceramah yang dia dengar di setiap sholat Jum'at, otomatis tahu dengan sendirinya, terutama saat aku menekankan ia untuk tidak melupakan waktu sholatnya saat seperti apapun. Saat ia bermain internet atau game online, dan ia harus tahu kapan waktunya berhenti untuk sholat, selebihnya bagaimana Reza bisa mengendalikan dirinya. Ya aku harus membiasakan dan mendisiplinkan dirinya, namun aku biarkan ia untuk belajar menghargai tubuh dan pikirannya sendiri dengan mencoba mendisiplinkan dirinya sendiri tanpa paksaan dan kekerasan.

Ibundaku dan Mertuaku memang tak mau tahu, tapi mungkin kulihat perbedaan yang mencolok cara mereka menanggapi gayaku berumah tangga dan mencari nafkah. Bila ibundaku menangis kepada Allah dengan tujuan tak langsung menyindir aku, dan ibu mertuaku menyindir langsung walau kadang terkesan sangat nyinyir dan menyebalkan. Tapi keduanya bertujuan sama. Mereka belum bisa bersama-sama menunggu waktunya aku dan anakku serta keluargaku menghadapi kehidupan ini dengan cara-gayaku sendiri. Sudahlah Bunda, bersabarlah menunggu waktu sehingga apa yang bunda inginkan pasti terwujud selambat apapun Insya Allah terwujud wahai Bundaku tercinta dan wahai Ibu Mertuaku yang kusayangi.

(Ditujukan buat sahabatku di
http://fivyokvita.wordpress.com) Trims ya fotonya!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar